Cerita Inspiratif Guru Yana dan Lia, Jadi Wasit Olimpiade Tokyo 2020

Cerita Inspiratif Guru Yana dan Lia, Jadi Wasit Olimpiade Tokyo 2020

EduNews EduSport Edutainment

Educare – Merah Putih kembali berkibar dan Indonesia Raya kembali berkumandang di ajang Olimpiade Tokyo 2020. Atlet Indonesia berhasil meraih 1 medali emas, 1 perak, dan 3 perunggu. Selain atlet-atlet yang mengharumkan nama bangsa, ada cerita menarik lainnya dari guru Indonesia. Ternyata, ada dua orang guru Indonesia menjadi wasit Olimpiade 2020 di cabang olahraga bulu tangkis.

Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Dirjen GTK) Iwan Syahril berkesempatan untuk belajar dan berbagi dengan Guru Wahyana dan Qomarul Lailiah melalui akun Instagram @dirjen.gtk. Wahyana merupakan guru PJOK dan Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SMPN 4 Patuk, Kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarta. S

edangkan Qomarul Lailiah adalah guru Bahasa Inggris SDN Sawunggaling I/382, Kota Surabaya, Jawa Timur. Baca juga: Pentingnya Kuasai Matematika untuk Kehidupan, Siswa Wajib Tahu Keduanya adalah BWF Certified Umpire, level tertinggi dalam perwasitan bulu tangkis sedunia (BWF: Badminton World Federation). Bahkan, Yana saat ini juga sudah menjadi Badminton Asia Assessor Panel.

Keduanya adalah BWF Certified Umpire, level tertinggi dalam perwasitan bulu tangkis sedunia (BWF: Badminton World Federation). Bahkan, Yana saat ini juga sudah menjadi Badminton Asia Assessor Panel.

Dalam bincang “Sapa GTK 9: Dari Guru, Sampai Jadi Wasit di Olimpiade Tokyo 2020”, Iwan mengupas tentang perjalanan keduanya sebagai pendidik, hingga akhirnya menjadi wasit, dan pengalaman mereka di Olimpiade Tokyo 2020.

Yana bercerita, dirinya menjadi guru olahraga karena didorong keinginannya menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain, hobinya berolahraga, dan karena aktor ekonomi keluarga. Ia juga terinspirasi juga oleh pamannya yang juga seorang guru.

“Yang mendasari ada tiga hal. Dulu di SD itu, guru Agama saya mengajari bahwa manusia yang baik itu adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Itu alasan pertama.

Kedua, alasan ekonomi, keluarga saya boleh dibilang kurang mampu saat itu. Faktor yang ketiga, hobi saya olahraga,” kata Yana seperti dirangkum dari laman GTK Kemendikbud, Rabu (11/8/2021).

“Waktu SMP saya berpikir, apa yang bisa tiga-tiganya ini dapat, akhirnya saya memutuskan untuk sekolah di SGO, sekolah guru olahraga,” lanjut alumnus IKIP Negeri Yogyakarta ini tentang alasannya menjadi guru. Sementara Lia bercerita awalnya menjadi guru karena ketidaksengajaan.

Tadinya, terang Lia, ia bercita-cita bekerja di bidang public relations karena senang bersosialisasi dan berkomunikasi. Pada masa awal ia mengajar bahasa Inggris, motivasinya lebih kepada supaya ilmu bahasa Inggrisnya semakin kuat.

Ternyata, ia malah jatuh cinta pada profesi guru dan teruslah Lia menjadi guru hingga saat ini.

Lia yang juga menggemari senam dan membaca, bercerita bahwa awal mula kesukaannya mengajar karena pesan gurunya di sekolah.

“Ada seorang guru saya bilang begini, salah satu cara belajar yang paling efektif, itu dengan cara mengajar. Jadi kamu setelah menerima ilmu dari guru di sekolah, kamu ajarkan kembali ke adikmu, ke tetangga, itu saya praktikkan. Kok, lama-lama jadi keterusan,” kenang Lia.

Ia juga bercerita kalau awalnya ia hanya menjadi guru honorer pada suatu SD di belakang rumahnya. Lalu, kepala sekolah di SD tersebut menyarankannya untuk mengambil akta mengajar. Sang suami pun mendukung kariernya sebagai guru.

“Ternyata menjadi guru itu enak sekali. Saya menemukan passion di situ,” tutur Lia.

Guru Bahasa Inggris SDN Sawunggaling I/382, Kota Surabaya, Jawa Timur, ini juga memandang dalam mengajar perlu kiranya menghadirkan kegembiraan terhadap mata pelajaran bagi siswa.

“Gimana caranya siswa ini, pertama, cinta dulu sama subjeknya, pelajarannya. Kalau sudah suka apa pun akan dilakukan,” ungkap Lia dalam laman kompas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *