Jebakan Digital: Remaja Dini dan Depresi Online

Eduhealth EduNews

EDUCARE.CO.ID, Jakarta – Masuknya anak-anak di usia pra-remaja ke dalam pusaran media sosial telah menjadi isu krusial yang perlu diwaspadai oleh orang tua dan pendidik. Meskipun sebagian besar platform menetapkan batas usia minimal 13 tahun, kenyataannya, banyak anak di bawah usia tersebut sudah memiliki akun. Paparan konten digital yang masif ini membawa dampak signifikan, terutama pada kesehatan mental mereka.

Perbandingan Konstan dan Citra Diri

Salah satu tantangan terbesar bagi pra-remaja adalah kecenderungan untuk melakukan perbandingan sosial (social comparison). Pada usia ini, di mana identitas diri sedang dibentuk, melihat konten yang “sempurna” di media sosial—mulai dari penampilan fisik hingga gaya hidup—dapat merusak citra diri secara drastis.

Psikolog anak dan remaja memperingatkan bahwa penggunaan media sosial yang intens, khususnya pada anak perempuan, sering dikaitkan dengan peningkatan risiko gangguan kecemasan dan depresi. Mereka mulai merasa penampilan diri buruk atau merasa tidak berharga karena selalu membandingkan realitas hidup mereka dengan highlight reel orang lain di dunia maya.

Ancaman Cyberbullying dan Agresi Online

Selain tekanan mental dari perbandingan diri, pra-remaja juga sangat rentan menjadi korban atau bahkan pelaku perundungan daring (cyberbullying). Beberapa bentuk cyberbullying yang umum terjadi meliputi:

  • Panggilan nama yang merendahkan (nama-calling).
  • Penyebaran rumor atau informasi palsu.
  • Ancaman fisik atau emosional.

Ketidakterbatasan ruang dan waktu di media sosial membuat ancaman ini terasa konstan, yang berpotensi menyebabkan gangguan tidur, kesulitan konsentrasi di sekolah, hingga rasa cemas berlebihan.

Pentingnya Pengawasan dan Literasi Digital

Untuk membentengi anak di usia pra-remaja, para ahli menyarankan pendekatan yang komprehensif, bukan sekadar pelarangan total:

  1. Komunikasi Terbuka: Orang tua perlu membangun hubungan yang suportif agar anak merasa aman untuk menceritakan pengalaman negatif atau kesulitan yang mereka temui di dunia maya.
  2. Batasi Waktu Layar: Terapkan aturan waktu yang jelas untuk mengakses ponsel atau media sosial, khususnya menjelang waktu tidur, untuk menghindari gangguan pola tidur.
  3. Literasi Digital: Ajari anak untuk berpikir kritis terhadap konten yang mereka lihat, mengenali berita bohong (hoax), dan memahami etika berinteraksi di internet (netiket).
  4. Resiliensi Online: Bantu anak membangun ketahanan diri (online resilience) agar mereka mampu beradaptasi dan tidak terlalu terpengaruh oleh komentar atau perlakuan negatif dari orang lain.

Menciptakan lingkungan digital yang aman adalah tanggung jawab bersama, membutuhkan kolaborasi antara keluarga, sekolah, dan komunitas. (DSM)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *