Fenomena ‘Kabur Aja Dulu’: Tren Sosial Media dan Respons Publik

EduNews

educare.co.id, Surabaya – Tren “Kabur Aja Dulu” tengah ramai diperbincangkan di media sosial. Gerakan ini mencerminkan keinginan masyarakat untuk mencari kehidupan yang lebih baik di luar negeri. Berbagai influencer turut menyuarakan pengalaman dan harapan mereka melalui narasi ini, sehingga menarik perhatian luas di dunia maya.

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Airlangga (UNAIR), Prof. Dr. Bagong Suyanto, Drs., M.Si., menilai bahwa fenomena ini merupakan bagian dari gerakan yang muncul seiring perkembangan masyarakat digital. Menurutnya, tagar “Kabur Aja Dulu” adalah bentuk aksi di dunia maya yang memanfaatkan media sosial untuk membangun kesadaran publik terhadap isu-isu sosial, ekonomi, dan politik.

“Wacana tagar Kabur Aja Dulu merupakan gerakan yang memang muncul di era perkembangan digital. Mereka memanfaatkan media sosial untuk membangun kesadaran masyarakat untuk mau peduli pada isu-isu politik maupun ekonomi. Jadi, memang gerakan itu tidak selalu dalam bentuk aksi di jalanan karena dampak dan gaungnya seringkali lebih besar dalam bentuk ajakan-ajakan di ruang publik,” ujar Prof. Bagong.

Latar Belakang Tren ‘Kabur Aja Dulu’

Banyak pihak mengaitkan tren ini dengan ketidakpuasan masyarakat terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan politik di Indonesia. Prof. Bagong menjelaskan bahwa gerakan semacam ini biasanya berakar pada kekecewaan terhadap kebijakan pemerintah, tindakan aparat, atau penyalahgunaan kekuasaan.

Saat ini, publik menantikan langkah-langkah yang diambil pemerintahan Prabowo dalam seratus hari pertamanya. Salah satu kebijakan yang menjadi sorotan adalah program makan siang gratis, yang membutuhkan anggaran besar di tengah kebijakan efisiensi di sektor lain.

“Selama ini fokus pemerintah kelihatannya pada program makan siang gratis sementara publik menilai ada yang tidak konsisten. Misalnya ketika makan siang gratis diperjuangkan habis-habisan membutuhkan dana yang besar. Tujuannya supaya memastikan kualitas hidup generasi muda sekarang. Tapi di saat yang sama ada ketidakjelasan soal tawaran beasiswa dan efisiensi anggaran yang kemudian memunculkan inkonsistensi dalam sikap pemerintah,” jelas Prof. Bagong.

Ketidakjelasan dalam transparansi anggaran memicu spekulasi bahwa kondisi keuangan negara sedang tidak stabil. Hal ini semakin diperkuat dengan kebijakan pajak yang semakin membebani masyarakat. Publik pun menuntut kejelasan mengenai penggunaan dana negara.

“Masyarakat ingin transparansi. Jika ada efisiensi, harus ada kejelasan ke mana dana tersebut dialihkan. Beberapa pihak menduga ada masalah pada keuangan negara, yang membuat mereka merasa situasi nasional sedang tidak baik-baik saja. Akibatnya, muncul keinginan untuk mencari peluang di luar negeri,” tambahnya.

Langkah Perbaikan

Di tengah keresahan publik, tren “Kabur Aja Dulu” mencerminkan ekspresi ketidakpercayaan terhadap masa depan di dalam negeri. Namun, Prof. Bagong mengingatkan bahwa kondisi di luar negeri pun tidak selalu lebih mudah. Oleh karena itu, tren ini seharusnya tidak hanya dipahami sebagai ajakan untuk benar-benar meninggalkan Indonesia, melainkan sebagai kritik dan masukan bagi pemerintah.

Ia menyarankan agar pemerintah lebih terbuka terhadap kritik publik dan segera mengambil langkah konkret untuk memperbaiki situasi. Salah satu opsi yang bisa dilakukan adalah melakukan reshuffle kabinet agar pemerintahan dapat berjalan lebih efektif. Selain itu, diperlukan komunikasi yang lebih baik dengan masyarakat melalui strategi komunikasi yang mampu meredakan kegelisahan publik.

“Pemerintah harus merespons kritik ini dengan bijak. Salah satu caranya adalah melakukan reshuffle kabinet guna meningkatkan efektivitas pemerintahan. Selain itu, pemerintah perlu menciptakan wacana tandingan (counter discourse) yang dapat menenangkan masyarakat,” pungkas Prof. Bagong.

Dengan respons yang tepat, fenomena “Kabur Aja Dulu” dapat menjadi refleksi bagi pemerintah untuk memperbaiki kebijakan dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap masa depan di Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *