
Viral Konten Absurd “Anomali Brainrot” Dinilai Bisa Pengaruhi Perkembangan Anak dan Remaja
educare.co.id, Bogor – Fenomena “Anomali Brainrot” yang tengah ramai diperbincangkan di media sosial seperti TikTok tak hanya menjadi hiburan, tapi juga mendapat sorotan dari kalangan akademisi. Salah satunya adalah Dr. Melly Latifah, dosen IPB University dari Fakultas Ekologi Manusia, yang menyoroti dampak psikologis konten-konten absurd tersebut terhadap anak dan remaja.
Konten seperti manusia berbentuk pentungan kayu, hiu yang mengenakan sepatu, hingga cappuccino berkepala balerina mungkin terlihat lucu dan menghibur, namun menurut Dr. Melly, ada sisi lain yang patut diwaspadai, terutama dalam hal perkembangan kognitif dan emosional anak-anak.
“Anak-anak belum mampu membedakan fantasi dan kenyataan. Visual yang ‘hiper-absurd’ dapat memicu pelepasan dopamin secara berlebihan, yang berdampak pada fokus dan emosi,” jelasnya, dalam siaran tertulis IPB (3/7). Ia menambahkan, pada masa usia dini yang masih berada di tahap praoperasional menurut teori Piaget, paparan konten seperti ini bisa membingungkan anak dalam memahami realitas dan menghambat perkembangan struktur bahasa akibat narasi yang tidak runtut.
Dampaknya pun tak hanya terbatas pada anak kecil. Remaja yang terus-menerus mengonsumsi konten absurd bisa mengalami penurunan kemampuan berpikir sistematis.
“Paparan berlebihan menguatkan pola pikir ‘semakin tidak masuk akal, semakin menarik’. Ini mengurangi kemampuan berpikir sistematis,” ujarnya. Tak hanya itu, menurutnya, konten semacam ini juga bisa mengikis empati, karena sering kali menggambarkan peristiwa tanpa konteks emosional yang tepat.
Namun, Dr. Melly juga menegaskan bahwa konten absurd tidak selalu berdampak negatif, asalkan dikelola dengan cara yang bijak. Dalam beberapa kasus, konten ini justru dapat merangsang daya imajinasi dan fleksibilitas berpikir.
“Bagi balita, orang tua harus memberi penjelasan. Katakan saja, ‘Ini hanya khayalan AI (artificial intelligence) semata. Dalam dunia nyata, ikan hiu tidak memakai sepatu’,” ujarnya.
Sementara bagi remaja, konten absurd bisa dijadikan sarana melatih kemampuan mengenali pola atau pattern recognition. “Konten absurd menciptakan semacam ‘cognitive playground’ yang melatih deteksi anomali, keterampilan yang sangat penting di era banjir informasi saat ini,” ungkapnya.
Untuk mencegah dampak buruk dari konten semacam ini, Dr. Melly menyarankan enam langkah bagi para orang tua. Pertama, membangun literasi digital dengan menjelaskan bahwa konten AI bersifat khayalan, bukan kenyataan. Kedua, membatasi akses, seperti mengaktifkan restricted mode, menetapkan durasi menonton maksimal 5 menit per hari, dan menghindari penggunaan gawai menjelang tidur.
Langkah ketiga adalah mengubah konsumsi pasif menjadi aktif, dengan mengajak anak menganalisis isi konten. “Sebutkan tiga hal tidak masuk akal di video ini!” bisa menjadi contoh pendekatannya. Keempat, melatih cognitive anchoring dengan mengaitkan konten absurd dengan fakta nyata. Kelima, mengedukasi anak mengenai bahaya konsumsi absurditas berlebihan yang bisa berdampak seperti makan permen terus-menerus: menyenangkan tapi berbahaya jika tak dikontrol. Dan terakhir, melakukan digital detox jika konsumsi sudah tak terkendali, yaitu dengan mematikan internet selama 3–7 hari dan menggantinya dengan aktivitas fisik maupun sosial.
Lebih jauh, Dr. Melly menjelaskan bahwa istilah “brain rot” sendiri menggambarkan kondisi mental akibat gaya hidup digital yang penuh dengan scrolling tanpa henti, maraton menonton video pendek, dan multitasking yang melelahkan otak.
“Perilaku ini menyebabkan cognitive overload, kelelahan mental, dan berkurangnya fokus. Paparan berlebihan terhadap video berdurasi pendek mengubah preferensi otak terhadap stimulasi cepat,” tuturnya.
Gejala awal brain rot pun perlu dikenali sejak dini. Gangguan ini bisa muncul dalam bentuk kesulitan konsentrasi, lupa instruksi sederhana, berbicara terbata-bata, hingga menyusutnya kosakata. Secara emosional, anak-anak bisa terlihat tertawa histeris saat menonton konten digital, namun datar saat berinteraksi langsung, bahkan bisa marah ketika gadget mereka diambil.
“Balita mungkin meniru gerakan absurd yang mereka lihat. Anak usia SD bisa mengalami penurunan nilai drastis. Sementara remaja mulai berkomunikasi dengan bahasa meme,” pungkasnya.