
Mengajar di Tengah Tantangan: Kisah Inspiratif Zaharman, Guru di Daerah 3T
Jakarta (educare.co.id) – Pada peringatan Hari Disabilitas Internasional 2024, nama Zaharman, seorang guru olahraga di SMA Negeri 7 Rejang Lebong, Bengkulu, menjadi sorotan setelah menerima penghargaan dalam kategori Guru Menginspirasi. Penghargaan ini diberikan sebagai pengakuan atas dedikasinya selama 33 tahun mengajar di daerah terpencil serta keteguhannya menghadapi berbagai tantangan berat. Prestasi ini mempertegas perannya sebagai panutan dalam dunia pendidikan.
Kisah Zaharman mencerminkan perjuangan seorang pendidik yang tetap setia mengabdi meski dihadapkan pada keterbatasan dan kesulitan. Sejak awal karirnya, ia telah melalui berbagai rintangan, termasuk kondisi medan yang sulit, tantangan sosial, hingga ancaman keamanan.
Zaharman memulai karirnya sebagai guru olahraga di SMA Negeri 7 Rejang Lebong pada tahun 1991. Hingga kini, ia tetap mengajar dengan penuh dedikasi, meskipun harus menempuh perjalanan jauh setiap hari. Letak sekolah yang terpencil di wilayah Rejang Lebong menjadi tantangan tersendiri, terutama karena tingginya risiko tindak kriminal di sekitarnya.
“Lokasi tempat saya mengajar sangat ekstrem. Banyak sekali tindakan kriminal seperti begal. Bagi pendatang baru yang tinggal di luar wilayah itu, situasinya sangat rawan,” kata Zaharman, dikutip dalam laman resmi Kemdikbud (10/12/2024).
Selain itu, lingkungan masyarakat sekitar sekolah juga menjadi tantangan tersendiri. Zaharman mengungkapkan bahwa perilaku sebagian warga setempat terkadang menghambat jalannya kegiatan belajar mengajar di sekolah.
“Ketika ekstrakurikuler berlangsung, masyarakat sering masuk begitu saja ke area sekolah dan ikut bermain. Ini tidak hanya melanggar etika, tetapi juga mengganggu konsentrasi siswa,” tambahnya.
Salah satu peristiwa yang menjadi titik balik dalam karir Zaharman terjadi pada 1 Agustus 2023. Ketika menegur seorang siswa yang ketahuan merokok di lingkungan sekolah, ia mendapat reaksi keras dari orang tua siswa tersebut. Orang tua tersebut menyerangnya dengan ketapel, yang menyebabkan Zaharman mengalami kebutaan permanen pada mata kanannya.
“Mata saya sebelah kanan ini sudah tidak berfungsi. Orang mungkin melihatnya normal, tetapi sebenarnya ini palsu. Kejadian itu terjadi saat saya berusia 58 tahun. Tentu trauma ada, tetapi saya memilih untuk bertahan karena beberapa alasan. Pertama, usia saya sudah mendekati masa pensiun, sehingga pindah sekolah akan merepotkan. Kedua, masalah dengan masyarakat dan siswa sudah selesai. Saya juga merasa, di manapun mengajar, tantangan akan selalu ada,” paparnya dengan penuh ketegaran.
Meskipun insiden tersebut meninggalkan luka fisik dan emosional, Zaharman tetap tegar dan tidak menyerah. Ia terus melaksanakan tugasnya sebagai pendidik dengan penuh dedikasi, karena baginya, mengajar adalah panggilan hati yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja.
SMA Negeri 7 Rejang Lebong, tempat Zaharman mengabdi, menjadi cerminan nyata tantangan pendidikan di wilayah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal). Sekolah ini dihadapkan pada berbagai masalah, seperti keterbatasan fasilitas, kurangnya jumlah tenaga pengajar, dan perilaku siswa yang kerap menunjukkan minimnya etika dan sopan santun. Meski begitu, Zaharman tetap bersemangat mengabdi demi memberikan harapan bagi generasi muda di daerah tersebut.
“Fasilitas sekolah semakin menurun, jumlah guru berkurang, dan sikap anak didik yang kurang sopan membuat beberapa guru memilih pindah. Murid juga semakin sedikit karena mereka lebih memilih sekolah baru yang menawarkan lingkungan lebih baik,” ungkap Zaharman.
Zaharman menyadari bahwa situasi pendidikan saat ini semakin sulit akibat perubahan pola asuh yang berbeda dibanding generasi sebelumnya. “Dulu, jika guru menegur atau memarahi siswa, orang tua akan mendukung guru. Sekarang, justru banyak orang tua yang marah kepada guru. Hal ini membuat siswa sulit belajar bertanggung jawab. Saya merasa kasihan, karena jika mereka selalu dilindungi, mereka tidak akan tahu mana yang benar dan mana yang salah,” ungkapnya.
Penghargaan yang diterima Zaharman tidak hanya sebagai bentuk pengakuan atas dedikasinya, tetapi juga sebagai simbol motivasi bagi para pendidik, khususnya di wilayah 3T. Menurutnya, tugas seorang guru adalah menuntaskan amanah di mana pun mereka bertugas, tanpa terpengaruh oleh besarnya tantangan.
“Di mana pun kita mengajar, tantangan pasti ada. Banyak guru di daerah 3T lainnya menghadapi situasi serupa, seperti di wilayah Sulawesi. Namun, kita harus tetap semangat, karena anak-anak yang kita didik adalah generasi penerus bangsa,” ujar Zaharman dengan penuh keyakinan.
Ia berharap penghargaan yang diterimanya dapat menginspirasi guru-guru lain untuk terus berjuang dan tidak menyerah pada keadaan. Zaharman juga mendorong para pendidik untuk introspeksi dan memahami bahwa perubahan pola asuh merupakan tantangan yang harus dihadapi dengan kebijaksanaan.
Di akhir wawancara, Zaharman menyampaikan pesan penuh inspirasi kepada rekan-rekannya. “Tetaplah menuntaskan tugas dimana pun kalian berada, meskipun tidak mudah, terutama di daerah 3T. Kita mungkin bekerja dalam keterbatasan, tetapi anak-anak yang kita didik adalah masa depan bangsa. Jangan menyerah, karena tugas kita adalah mencetak generasi yang mampu membawa perubahan. Percayalah, dedikasi kita akan membuahkan hasil bagi masa depan mereka,” katanya dengan penuh harapan.
Kisah Zaharman mencerminkan perjuangan banyak guru di wilayah 3T. Di tengah keterbatasan fasilitas, ancaman keamanan, dan tantangan sosial, mereka tetap teguh menjalankan tugas sebagai pendidik. Kisah ini mengingatkan bahwa pendidikan bukan hanya tentang menyampaikan ilmu, tetapi juga tentang dedikasi, keteguhan hati, dan keberanian untuk menghadapi rintangan.
Semangat Zaharman adalah cerminan semangat para guru yang terus berjuang demi masa depan generasi muda. Penghargaan yang diterimanya menjadi bukti bahwa ketulusan dan dedikasi seorang pendidik tidak akan pernah sia-sia.