Mahasiswa UNY Kembangkan Aplikasi Game Edukasi Seksual untuk Anak Sekolah Dasar
educare.co.id, Yogyakarta – Maraknya kasus kekerasan seksual pada anak usia dini mendorong sekelompok mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) menciptakan inovasi edukatif berupa aplikasi pembelajaran seksual berbasis gim bernama “Do and Don’t”. Aplikasi ini dirancang untuk mengenalkan konsep batas tubuh dan langkah pencegahan kekerasan seksual secara menyenangkan dan sesuai usia kepada anak-anak Sekolah Dasar (SD).
Inisiatif ini dipelopori oleh Suci Rohmawati, mahasiswa Program Studi PGSD angkatan 2021. Ia terinspirasi menciptakan platform tersebut setelah mengikuti Program Kampus Mengajar dan menemukan bahwa banyak anak belum memahami konsep dasar tentang tubuh dan perlindungan diri.
“Mereka belum tahu bagian tubuh mana yang boleh dan tidak boleh disentuh, serta bagaimana merespons ketika mengalami kekerasan,” ungkap Suci, dalam siaran tertulis uny (24/7).
Bersama lima rekan lintas jurusan—Vina Wijayanti (PGSD), Ardelia Apriliani dan Akmal Maulana Kismoyo (Teknik Informatika), serta Nabila Putri Bilqist (Pendidikan IPS)—Suci mengajukan ide ini melalui Program Kreativitas Mahasiswa (PKM).
Awalnya dikembangkan dalam bentuk situs web, “Do and Don’t” kini telah berevolusi menjadi aplikasi. Materi pembelajaran dikemas secara visual dan interaktif, seperti pengenalan bagian tubuh yang boleh dan tidak boleh disentuh, menjaga kebersihan pribadi, serta cara merespons situasi tidak aman. Setelah materi, anak-anak diajak mengikuti kuis bergambar sebagai sarana evaluasi yang menyenangkan.
Selain aplikasi digital, tim ini juga membuat modul cetak dengan bahasa sederhana dan ilustrasi menarik. Modul ini dapat dimanfaatkan oleh guru dalam pembelajaran di kelas maupun digunakan secara mandiri oleh siswa.

Meskipun belum tersedia di Play Store, aplikasi ini telah diujicobakan di beberapa sekolah dasar seperti SD Al-Azhar dan SD Bumijo, serta digunakan oleh mahasiswa KKN dan PPL di wilayah seperti Gunungkidul. Respon yang diterima dari siswa sangat positif.
“Anak-anak merasa seperti bermain, padahal mereka sedang belajar hal penting tentang menjaga diri,” tutur Suci.
Namun, perjalanan pengembangan aplikasi ini tidak sepenuhnya mulus. Tim menghadapi berbagai tantangan, mulai dari aspek teknis pemrograman yang membutuhkan ketelitian tinggi, distribusi aplikasi dalam bentuk file software, hingga keterbatasan akses gawai di sejumlah sekolah. Untuk mengatasi hal tersebut, uji coba dilakukan secara berkelompok agar tetap dapat menjangkau siswa dengan keterbatasan fasilitas.
Meski demikian, pendekatan berbasis gim terbukti efektif dalam menyampaikan materi sensitif kepada anak-anak. “Materi sensitif bisa diterima anak-anak dengan cara yang lebih ringan dan tidak menakutkan,” tambah Suci.
Inovasi ini menegaskan pentingnya pendidikan seksual sejak dini sebagai kebutuhan mendesak, bukan sekadar isu. Dengan pendekatan yang sesuai usia, edukasi semacam ini diharapkan tidak hanya melindungi anak dari potensi kekerasan, tetapi juga menumbuhkan budaya saling menghargai dan empati sejak usia muda.
Suci dan timnya berharap aplikasi “Do and Don’t” dapat terus dikembangkan dan memperoleh dukungan dari berbagai pihak, termasuk pendidik, orang tua, sekolah, hingga instansi pemerintah. Tujuannya adalah agar lebih banyak anak Indonesia memiliki pengetahuan dan kesiapan untuk melindungi diri mereka sendiri di tengah tantangan zaman yang semakin kompleks.
