
Dosen UNAIR Soroti Potensi Mikroba sebagai Solusi Pencemaran Lingkungan
educare.co.id, Surabaya – Pencemaran lingkungan di perairan masih menjadi persoalan serius di berbagai daerah. Seiring bertambahnya limbah yang mencemari lingkungan, para peneliti terus mencari solusi alternatif yang lebih aman dan berkelanjutan. Salah satu pendekatan yang kini mulai banyak diperhatikan adalah bioremediasi, yakni pemanfaatan organisme hidup untuk mengurai zat pencemar.
Menanggapi isu tersebut, dosen Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga (UNAIR), Ayu Lana Nafisyah, SPi, MSc, PhD, mengungkapkan bahwa bioremediasi berpotensi menjadi solusi konkrit terhadap masalah pencemaran yang semakin kompleks. Ia menjelaskan bahwa mikroba seperti bakteri, jamur, dan mikroalga dapat dimanfaatkan sebagai agen bioremediator dalam mengurai polutan yang mencemari lingkungan.
“Bioremediasi menjadi solusi yang dinilai lebih efektif dibandingkan dengan menggunakan bahan kimia untuk menguraikan bahan pencemar pada lingkungan, yang mana dapat meninggalkan residu. Sehingga bioremediasi dapat menjadi alternatif yang lebih aman,” ungkapnya.
Ayu menjelaskan, dalam proses bioremediasi terdapat mekanisme seperti biosorpsi, yaitu proses penyerapan dan pengikatan zat pencemar oleh mikroorganisme. Namun, menurutnya penggunaan mikroba dalam skala besar tetap memerlukan kontrol dan pengawasan yang cermat.
Ia mencontohkan penggunaan mikroalga yang jika tidak dikendalikan dapat memicu ledakan populasi atau blooming algae. Fenomena ini dapat menurunkan kadar oksigen di perairan dan berisiko menyebabkan kematian massal organisme akuatik.
“Dosis yang tepat perlu diperhatikan untuk mencegah blooming atau pertumbuhan mikroalga secara berlebihan dan dapat mengurangi kadar oksigen dalam air sehingga menyebabkan kematian massal biota air. Jika aplikasi bioremediator dilakukan secara in situ, terdapat potensi bahaya utamanya pada ikan di kawasan tersebut melalui proses biomagnifikasi dimana akumulasi polutan dapat terjadi akibat adanya kontak dengan agen bioremediasi sehingga jenis mikroba dan dosis yang digunakan harus tepat. Solusi yang lebih efektif lainnya adalah dengan melakukan pencegahan meningkatnya polutan di bumi,” jelasnya.
Lebih jauh, Ayu menyoroti pentingnya peran masyarakat dalam menangani masalah pencemaran. Menurutnya, peningkatan jumlah penduduk turut berdampak pada peningkatan jumlah limbah dan sampah, baik di darat maupun di perairan. Ia juga menilai bahwa sejumlah program pemerintah belum berjalan maksimal, termasuk kampanye pengurangan kantong plastik melalui penggunaan tote bag.
“Beberapa program yang dicanangkan masih belum terlaksana secara maksimal. Salah satunya yaitu upaya penggunaan tote bag sebagai solusi dalam mengurangi penggunaan kantong plastik sekali pakai. Hal ini justru memunculkan masalah baru karena masih banyak masyarakat yang tidak menggunakan ulang tote bag-nya saat belanja dan malah membeli yang baru. Padahal materialnya lebih sulit terurai dari kantong plastik sekali pakai,” ungkapnya.
Ayu menekankan bahwa masyarakat dapat mengambil peran langsung dengan melakukan langkah sederhana seperti memilah sampah, mengurangi penggunaan produk sekali pakai, serta mengelola limbah rumah tangga secara mandiri.
“Memang untuk dapat memahami konsep bioremediasi masih cukup awam bagi masyarakat umum. Peneliti masih berupaya menemukan solusi terbaik dan aplikatif untuk menyingkirkan polutan di alam. Peran masyarakat diperlukan dalam upaya pencegahan meningkatnya polutan organik maupun anorganik yang dihasilkan sehari-hari menjadi salah satu kunci untuk dapat mencegah pencemaran lingkungan menjadi lebih parah,” pungkasnya.