Dari Keluarga hingga Sastra: Menolak Ayah dalam Perspektif Malam Sastra Canberra

EduNews Edutainment

educare.co.id, Canaberra – Pada malam yang penuh semangat sastra, Malam Sastra Canberra menjadi saksi sebuah diskusi mendalam mengenai salah satu karya penting sastra Indonesia kontemporer, Menolak Ayah karya sastrawan Ashadi Siregar. Diskusi ini bukan hanya soal pengungkapan cerita, tetapi juga tentang bagaimana karya ini menggali konflik keluarga, budaya, dan identitas yang masih sangat relevan dalam konteks global.

Ashadi Siregar, yang dikenal sebagai penulis produktif dengan karya-karya seperti Cintaku di Kampus Biru, Kugapai Cintamu, Terminal Cinta Terakhir, Sirkuit Kemelut, dan yang terbaru Menolak Ayah, hadir secara daring dari Indonesia. Novel Menolak Ayah, yang diterbitkan pada tahun 2018, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Jennifer Lindsay dengan judul Rejection: A Sumatran Odyssey.

Menggugah Pertanyaan tentang Keluarga dan Otoritas Ayah

Menolak Ayah menceritakan kisah seorang anak yang berkonflik dengan figur ayahnya. Konflik ini tidak hanya terbatas pada penolakan pribadi terhadap otoritas ayah, tetapi juga menjadi representasi lebih luas dari ketegangan antara generasi yang lebih tua dan yang lebih muda. Lewat narasi yang kuat, novel ini membawa pembaca pada refleksi tentang hubungan keluarga yang kerap kali dibangun di atas ekspektasi, dominasi, dan rasa sakit yang tak terlihat.

Dalam Malam Sastra Canberra, para peserta tidak hanya membaca novel ini sebagai sebuah cerita pribadi, tetapi juga sebagai simbol dari masalah yang lebih besar: bagaimana cara kita melihat figur otoritas dalam masyarakat, serta bagaimana struktur kekuasaan dalam keluarga seringkali membentuk identitas dan pandangan hidup seorang individu.

Diskusi novel kali ini menghadirkan George Quinn, pakar Sastra Jawa, dan Jennifer Lindsay, penerjemah novel ini, sebagai pembahas. Amrih Widodo, presiden Balai Bahasa Indonesia ACT (BBI-ACT), memandu jalannya acara yang diikuti oleh beragam peserta dari komunitas pecinta sastra Indonesia di Canberra, termasuk guru, dosen, mahasiswa, dan penggiat sastra lainnya.

Acara ini diselenggarakan secara santai dan kekeluargaan di kediaman salah satu pengurus BBI-ACT. Para peserta bebas duduk di kursi atau lesehan, dan sebelum diskusi dimulai, mereka disuguhi hidangan khas Batak yang disebutkan dalam novel Menolak Ayah. Beberapa peserta juga mengenakan kain ulos, seolah menghidupkan budaya Batak yang ada dalam cerita. “Memulai acara dengan makan bersama menciptakan suasana yang hangat dan memberi kesempatan bagi peserta untuk mengenal budaya melalui kenikmatan dan pemaknaan kuliner khas daerah,” ungkap Amrih.

Malam Sastra Canberra: Ruang Dialog Lintas Budaya

Malam Sastra Canberra bukan hanya sekadar sebuah diskusi tentang sastra, tetapi juga menjadi ruang untuk membangun jembatan antara budaya Indonesia dan budaya Australia, serta dunia lebih luas. Tema Menolak Ayah yang sangat universal tentang hubungan keluarga, perlawanan terhadap otoritas, dan pencarian identitas membuatnya resonan bagi banyak orang di berbagai belahan dunia.

Diskusi malam itu menciptakan kesempatan bagi para peserta untuk menyelami pengalaman emosional yang dialami oleh tokoh utama dalam novel, yang menjadi simbol dari perjuangan banyak individu yang terjebak antara tradisi dan modernitas. Karya ini membuka ruang untuk berbicara tentang isu-isu yang mungkin sering terabaikan, seperti tekanan psikologis dalam keluarga dan pencarian diri dalam sistem nilai yang beragam.

Dalam ulasannya, George Quinn mengungkapkan bahwa Menolak Ayah tidak hanya membahas hubungan ayah dan anak, tetapi juga menyentuh hal besar seperti konsep kebangsaan Indonesia yang baru terbentuk. Quinn juga menyebutkan bahwa novel ini merupakan salah satu karya pertama di Indonesia modern yang berupaya menjaga kemurnian Bahasa Indonesia dari pengaruh bahasa lain, khususnya Jawa. Namun, ia juga mencatat bahwa Bahasa Indonesia pada dasarnya tumbuh dari serapan bahasa-bahasa lain seperti Sanskerta, Arab, Belanda, hingga kini bahasa Inggris. Novel Ashadi pun menjadi arena negosiasi politik bahasa, di mana percampuran budaya dan bahasa sering kali dipengaruhi oleh kekuasaan.

Sastra sebagai Cermin dan Pembebas

Salah satu topik yang berkembang dalam Malam Sastra Canberra adalah bagaimana sastra, termasuk Menolak Ayah, berfungsi sebagai alat untuk menyuarakan pengalaman yang sering tidak terlihat atau terselubung. Dalam novel ini, perlawanan terhadap ayah bukan hanya berbicara tentang pembangkangan, tetapi juga tentang pencarian jati diri dan kebebasan untuk memilih jalan hidup sendiri. Ini adalah tema yang sangat relevan di banyak budaya di mana peran keluarga dan figur orang tua sering kali dianggap tak tergoyahkan.

Sastra, dalam hal ini, menjadi cermin dari konflik internal yang kita alami sebagai individu dalam masyarakat. Namun lebih dari itu, sastra juga memberikan ruang untuk kebebasan berpendapat, berekspresi, dan bahkan untuk memperjuangkan hak-hak pribadi yang selama ini terpinggirkan oleh tradisi atau norma sosial.

Menolak Ayah: Menemukan Suara di Tengah Konflik

Ashadi Siregar sendiri menjelaskan bahwa Menolak Ayah menggambarkan dua dunia: mikro, tentang perjalanan hidup anak Batak bernama Tondinihuta yang ditinggalkan ayahnya sejak kecil; dan makro, situasi politik Indonesia pada era 1950-an hingga 1965. Ia menegaskan bahwa tema utama dalam novel-novelnya adalah perlawanan terhadap penindasan, seperti dalam Cintaku di Kampus Biru yang menggambarkan perjuangan mahasiswa melawan dosen. Dalam Menolak Ayah, perlawanan ini juga merambah pada hegemoni Bahasa Indonesia yang makin terkontaminasi oleh bahasa Jawa yang mencerminkan budaya politik pada era tersebut.

Salah satu aspek yang dibedah dalam diskusi malam itu adalah bagaimana Menolak Ayah berfungsi sebagai suara bagi mereka yang merasa terperangkap dalam hubungan yang penuh dengan ekspektasi, baik di dalam keluarga maupun masyarakat. Novel ini menawarkan kesempatan untuk menyelami emosi dan pengalaman yang jarang terungkap dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi banyak peserta, novel ini bukan hanya sekedar cerita tentang seorang anak yang menentang ayahnya. Ia adalah kisah universal tentang mencari kebenaran, kebebasan, dan pembebasan dari belenggu masa lalu. Melalui cara yang tidak konvensional, Acep Zamzam Noor memberi pembaca kesempatan untuk merefleksikan dan mungkin, menyembuhkan, hubungan yang kadang terasa rusak atau tak terungkap.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *