Antara SIN, NIK, dan Pajak

EduJurnal EduNews

Penulis : Maghfiroh Yenny  (Dosen Universitas Gunadarma)

EDUCARE — Kamis, 7 Oktober 2021, menjadi momentum yang sangat krusial untuk dunia perpajakan di Tanah Air. Di tanggal tersebut, Rapat Paripurna DPR RI akhirnya menyetujui Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Presiden Jokowi pun kemudian secara resmi mengundangkan RUU HPP menjadi UU Nomor 7 Tahun 2021 pada tanggal 29 Oktober 2021. Undang-undang ini akan berlaku pada tahun pajak 2022.

Dengan disahkannya UU HPP ini diharapkan administrasi pajak di Tanah Air akan tertata dengan lebih baik. Karena, niat pemerintah mengintegrasikan data kependudukan dengan basis perpajakan menjadi Single Identity Number (SIN) akhirnya bisa diwujudkan karena hal ini menjadi salah satu amanat yang tertulis di UU tersebut.

Lalu, apa yang dimaksud dengan SIN? Apa hubungan SIN dengan dunia perpajakan? Mengapa SIN ini digadang-gadang bisa menjadi salah satu faktor penentu makin baiknya administrasi pajak? Apakah dengan administrasi pajak yang lebih baik lalu bisa menjamin suksesnya pencapaian target pajak ataupun peningkatan tax ratio?

Sebelum membahas tentang pajak, ada baiknya kita mengenal lebih dahulu apa yang dimaksud dengan Single Identity Number atau Nomor Identitas Tunggal. SIN adalah sebuah identitas unik yang dimiliki setiap individu. Identitas ini memuat berbagai informasi individu tersebut seperti informasi diri, data keluarga,  dan lain-lain.

Nomor identitas tunggal ini sudah diterapkan di banyak negara di dunia. Di Amerika Serikat, sistemnya dinamakan Social Security Number (SSN). Estonia termasuk negara yang paling awal menerapkan SIN (The Estonian Identification). Kemudian diikuti oleh negara-negara di kawasan Skandinavia. Bahkan, negara tetangga kita yaitu Malaysia lebih dulu menerapkan sistem SIN dan diberi nama MyKad sejak tahun 2011. Demikian juga dengan negara-negara Asia lain seperti Cina, Thailand, Korea Selatan, dan lain-lain.

Di Indonesia penerapan SIN dilakukan melalui implementasi e-KTP yang memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang bersifat unik, tunggal dan melekat pada seseorang seumur hidup. Pemberlakuan SIN berupa angka NIK ini secara administrasi akan memangkas begitu banyak nomor identitas yang melekat pada setiap diri warga negara Indonesia. Katakanlah ada puluhan nomor identitas yang selama ini diterbitkan oleh sekian banyak Lembaga untuk keperluan masing-masing. Sebut saja nomor KTP, nomor SIM, NPWP, BPJS, nomor tagihan listrik, telepon, tagihan air, dan masih banyak yang lain.

Dengan teknologi informasi yang terus berkembang maka banyaknya nomor identitas yang tidak efisien ini bisa diintegrasikan dalam satu nomor saja yang disebut SIN berupa NIK seperti yang dijelaskan di atas. Semua data dari NIK akan dintegrasikan dengan data administrasi penduduk lainnya seperti, SIM, NPWP, BPJS dan data-data lainnya. Secara bertahap Single Identity Number ini dibangun di seluruh wilayah Indonesia mulai tahun 2016. Dengan demikian diharapkan birokrasi yang wewenangnya ada di Pemerintah RI bisa berjalan dengan lebih sederhana dan efektif.

Lalu, bagaimana hubungannya NIK dengan pajak? Dalam hal ini salah satu insiatif yang diamanatkan UU HPP adalah difungsikannya Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi pembayar pajak orang pribadi dalam negeri. Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.112/2022 mengadopsi penggunaan NIK sebagai NPWP dalam pemenuhan kewajiban perpajakan.  Dengan kata lain, UU HPP telah mengamanatkan bank data perpajakan berupa NIK untuk membangun sistem perpajakan yang lebih baik demi kemandirian finansial.

Kemandirian finansial ini bisa diraih jika aministrasi pajak berjalan dengan baik. Pajak bukan hanya menyangkut masalah teknis target dan penghimpunan, namun juga sangat tergantung pada sistem administrasi pajak yang efisien. Pajak sangat menentukan keberlangsungan pembangunan negara yang bertujuan mencapai kemakmuran rakyat yang adil dan merata. Inilah sesungguhnya yang menjadi kunci keberhasilan pembangunan di sektor perpajakan.

Rencana mewujudkan Single Identity Number (SIN) sesungguhnya sudah lama dirintis oleh Direktorat Jenderal Pajak. Upaya DJP untuk mengakses data kependudukan telah dilakukan sejak tahun 2018, dengan ditandatanganinya Nota Kesepahaman antara Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan pada 13 Agustus 2018.

Data kependudukan yang bisa diakses oleh DJP sesuai perjanjian antara lain Nomor Kartu Keluarga, NIK, nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta alamat. Data tersebut akan digunakan untuk sinkronisasi, verifikasi, dan validasi dalam pendaftaran dan perubahan data Wajib Pajak.

Lalu, apakah dengan menerapkan NIK yang difungsikan sebagai NPWP maka setiap pemilik NIK harus membayar pajak penghasilan? Tentu tidak demikian. Beberapa waktu lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa tidak berarti setiap pemilik NIK secara otomatis harus membayar pajak penghasilan.

Skema pemajakan atas penghasilan orang pribadi tetap berlangsung seperti yang sudah berjalan, yaitu hanya menyasar pendapatan di atas Rp 4,5 juta per bulan atau Rp 54 juta per tahun, yang merupakan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Menteri Keuangan juga menyatakan bahwa UU HPP tidak mengubah besaran dan ketentuan PTKP.

Dari penjelasan di atas terlihat bahwa pemerintah berupaya maksimal untuk terus meningkatkan pendapatan pajak sebagai salah satu pemasukan terbesar negara. Apalagi target penerimaan pajak yang menjadi tugas dari Direktorat Jendral Pajak terus meningkat setiap tahunnya. Dengan adanya SIN yang mengintegrasikan berbagai data diharapkan bisa menjadi alat yang paling efektif untuk memaksimalkan proses pemungutan pajak.

Kepatuhan Wajib Pajak juga bisa diuji dengan lebih efektif dari penerapan SIN ini. Dengan demikian pengumpulan penerimaan pajak juga diharapkan akan lebih maksimal. Dan, pada akhirnya SIN akan membantu menaikkan tax ratio Indonesia. Namun, segala hal yang dilakukan tentu akan menemui kendala dalam pelaksanaannya. Begitu pula dengan ikhtiar pemerintah meningkatkan penerimaan pajak dengan nomor identitas tunggal ini. Namun, mengawinkan NIK dengan NPWP adalah ikhtiar maksimal yang bisa dilakukan dalam pembangunan di sektor  perpajakan.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *