Waspadai Kesalahan, Dosen UNAIR Ingatkan Penggunaan AI Harus Disikapi Kritis
educare.co.id, Surabaya – Teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) kini semakin luas digunakan, terutama dalam dunia pendidikan. Kemampuannya yang menyerupai manusia dalam memahami, memproses, hingga menciptakan sesuatu, membuat AI menjadi alat bantu yang sangat digandrungi mahasiswa, seperti melalui ChatGPT, Gemini, hingga aplikasi edit foto yang semakin canggih.
Meski demikian, AI tidak luput dari potensi kesalahan. Dosen Program Studi Teknik Robotika dan Kecerdasan Buatan Fakultas Teknologi Maju dan Multidisiplin (FTMM) Universitas Airlangga, Rizki Putra Prastio S.Si., M.T., mengingatkan agar masyarakat tidak menelan mentah-mentah hasil dari AI.
“Mesin belajar dari data-data yang terinput oleh manusia. Layaknya anak yang mendapatkan informasi atau pengetahuan dari orang tua. Kecerdasan buatan pun bekerja seperti itu. Manusia memberikan banyak data, dapat berupa gambar, teks, atau suara. Mesin akan mempelajari pola data tersebut secara numerik,” terangnya.
Rizki menjelaskan bahwa AI bekerja dengan cara mengenali pola dan menebak berdasarkan kemiripan data. Proses ini penuh dengan rumus matematis yang kompleks. Namun karena berasal dari data buatan manusia, AI tetap berisiko menghasilkan kesalahan.
“Secara saintifik, tidak pernah ada yang namanya error 0%. Selalu akan ada error yang terjadi. Bagaimana mungkin AI bisa akurat 100% sementara pembuatnya, manusia, bisa salah? Manusia juga menggunakan alat ukur juga punya errornya. Ada celah bias dari pelatihan data oleh manusia,” jelasnya.
Sebagai contoh, Rizki—yang akrab disapa Tio—pernah mencoba beberapa tools AI untuk menjawab soal Ujian Tengah Semester (UTS). Hasilnya, sebagian besar jawaban yang diberikan AI ternyata salah.
“Saya memberi respon dengan mengatakan jawabannya salah. Lalu mesin tersebut menganalisis ulang dan tetap salah. Pada akhirnya saya memberikan perintah untuk menganalisis dengan metode lain, dan kemudian memberikan jawaban yang benar,” tuturnya.
Tio menegaskan pentingnya bersikap kritis saat menggunakan AI, apalagi untuk mempelajari hal-hal baru yang belum diketahui sebelumnya. Jika langsung percaya begitu saja, risiko salah kaprah bisa sangat besar.
“Ketika kita belajar hal yang sama sekali baru, artinya kita tidak memiliki pengetahuan apapun tentang hal itu. Kita masih kosong, tidak memiliki ground truth, tidak memiliki informasi apapun. Bayangkan jika kita langsung menganggap jawaban AI adalah yang benar padahal nyatanya salah,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia menyebut perkembangan pesat AI saat ini terjadi karena dukungan teknologi yang jauh lebih baik dibanding era 1950-an, saat riset awal AI mulai berkembang. Meski menawarkan banyak manfaat, AI tetap menimbulkan kontroversi jika tidak diiringi dengan etika dan regulasi yang jelas.
“Kita harus punya etika dalam menggunakan AI, gunakan untuk yang memberikan manfaat, gunakan untuk menunjang pekerjaan. AI tidaklah bebas dari error, tetaplah kritis pada hasil yang diberikannya. Jangan ditelan mentah-mentah karena bisa jadi itu salah,” pungkasnya.
