Sate Lilit: Duta Filosofi Persatuan Bali di Lidah Dunia
EDUCARE.CO.ID, Bali – Sate lilit bukan sekadar sajian kuliner khas Bali yang memanjakan lidah wisatawan, tetapi juga sebuah pelajaran hidup yang diwujudkan dalam bentuk makanan. Jauh dari sekadar kelezatan, hidangan ini bertindak sebagai duta filosofi budaya yang kuat, melambangkan persatuan, kebersamaan, dan kejantanan masyarakat Bali.
Sate Lilit, yang terbuat dari daging cincang—bisa berupa ikan, ayam, atau babi—yang dicampur dengan bumbu dasar Bali (Base Genep) lalu dililitkan erat pada batang serai atau bambu pipih, memiliki makna yang mendalam.
Makna “Lilitan” yang Mengajarkan Persatuan
Filosofi utama Sate Lilit terletak pada proses pembuatannya. Berbeda dengan sate pada umumnya yang dagingnya ditusuk, Sate Lilit dibuat dengan cara melilitkan daging cincang.
- Simbol Persatuan: Daging cincang yang menyatu dan melekat erat pada tusuk sate melambangkan solidaritas dan kerukunan masyarakat Bali. Ini adalah representasi visual dari masyarakat yang selalu bersatu dan tidak tercerai-berai, sesuai dengan semboyan negara.
- Keseimbangan Rasa: Bumbu yang digunakan, yaitu Base Genep (bumbu lengkap), yang terdiri dari belasan jenis rempah-rempah (kunyit, jahe, kencur, cabai, bawang, dll.), melambangkan keseimbangan dalam hidup. Semua unsur bumbu, yang rasanya beragam, menyatu sempurna menjadi satu rasa yang harmonis.
- Simbol Kejantanan: Secara tradisional, proses melilitkan daging pada tusuk sate diyakini sebagai simbol kejantanan pria Bali. Sate lilit sering disajikan dalam berbagai upacara keagamaan dan adat sebagai persembahan yang suci dan simbolik.
Dengan demikian, menyantap Sate Lilit adalah cara yang menyenangkan untuk memahami bagaimana budaya dan filosofi dapat diwariskan melalui kuliner. Setiap gigitan menawarkan pelajaran edukatif tentang sejarah dan nilai-nilai luhur pulau Dewata. (DSM)
