Intervensi BI di Pasar Valas, Pakar UNAIR Tanggapi Dampak dan Ketahanan Devisa
educare.co.id, Surabaya – Bank Indonesia (BI) kembali melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk menahan pelemahan nilai tukar rupiah yang terdampak oleh tekanan eksternal. Langkah ini menuai perhatian publik dan akademisi, khususnya terkait efektivitas strategi tersebut serta kondisi cadangan devisa nasional.
Menanggapi kebijakan ini, pakar ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga (UNAIR), Prof. Dr. Tika Widiastuti, S.E., M.Sc., menyatakan bahwa langkah BI merupakan respons logis atas menguatnya tekanan global.
“Penguatan dolar AS didorong oleh ekspektasi bahwa suku bunga The Fed akan tetap tinggi. Ditambah lagi, ketegangan geopolitik global meningkatkan ketidakpastian pasar,” jelas Prof. Tika.
Dalam kondisi demikian, ia menjelaskan, investor cenderung menarik modal dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Oleh sebab itu, intervensi diperlukan untuk menjaga kestabilan kurs rupiah dan memelihara kepercayaan pelaku pasar.
Prof. Tika menekankan bahwa intervensi pasar valuta asing memiliki efektivitas tersendiri, khususnya dalam meredam gejolak jangka pendek. Namun, untuk hasil jangka panjang, kebijakan suku bunga juga berperan penting meskipun bisa membawa risiko perlambatan ekonomi.
“Karena itu, keduanya perlu dikombinasikan secara hati-hati,” ujarnya.
Cadangan Devisa Masih Kuat, Tapi Waspada
Terkait kekhawatiran terhadap penggunaan cadangan devisa secara agresif, Prof. Tika memastikan bahwa posisi cadangan Indonesia yang tercatat sekitar USD 140 miliar pada Maret 2025 masih tergolong kuat.
“Namun, BI tetap harus berhati-hati agar tidak terlalu agresif menggunakan cadangan tersebut. Penggunaan cadangan harus selektif agar ketahanan eksternal tidak terganggu,” terangnya.
Sebagai pelengkap intervensi langsung, ia juga menyarankan pengembangan sejumlah instrumen alternatif seperti Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), kerja sama swap bilateral, serta insentif untuk mendorong masuknya devisa dari ekspor dan remitansi. Menurutnya, pendekatan multifaset akan lebih efektif dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi global.
“Menjaga stabilitas makroekonomi membutuhkan kebijakan yang adaptif, seimbang, dan berkelanjutan di tengah ketidakpastian global,” pungkasnya.
