Guru dan Murid Akan Semakin Aktif Dengan Adanya Kurikulum Merdeka
Educare.co.id – Jualinus Joko Utomo yang akrab dipanggil Pak Joko, merupakan guru kelas 1 di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri 1 Tabanan, Kabupaten Tabanan, Bali. Ia mengajar khusus untuk siswa tunarungu sesuai dengan bidang ilmu yang ia dalami sejak duduk di bangku kuliah. Di sekolah ini, selain tuna rungu, juga tersedia kelas untuk tunanetra, tunagrahita, dan tunadaksa.
Seperti yang dikutip dalam website Kemendikbud.go.id, sejak 2022 lalu, SLB Negeri 1 Tabanan telah melakukan Implementasi Kurikulum Merdeka di kelas 1, 4, 7, dan 10 dengan status Mandiri Berubah. Sementara itu, di kelas lain masih menggunakan kurikulum sebelumnya (K-13). “Kami berusaha menerapkan Kurikulum Merdeka semaksimal mungkin,” ujar Pak Joko dengan penuh semangat.
Sebagai guru, hal pertama yang didapatkan Pak Joko dari Kurikulum Merdeka adalah adanya berbagai cara dan media untuk belajar. Salah satu contohnya, ia merasakan manfaat Platform Merdeka Mengajar sebagai media belajar untuk meningkatkan kapasitas sebagai guru.
Pak Joko mengaku, bahwa Kurikulum Merdeka dan fasilitas pendukung di dalamnya sangat berpengaruh pada peningkatan keterampilan dan wawasan seorang guru dalam mengajar. “Kini saya juga ikut Program Pendidikan Guru Penggerak. Angkatan 6,” ucapnya. “Pada gilirannya semua itu membuat saya termotivasi untuk menjadi lebih baik,” ia melanjutkan.
Melibatkan Orang Tua Murid
Dengan adanya Kurikulum Merdeka, Pak Joko mengatakan bahwa ia mempunyai banyak pilihan untuk membangun model pembelajaran untuk siswa tunarungu. Pola pikir dan cara mengajar jadi berubah. “Sekarang kami bisa belajar di mana saja, melibatkan siapa saja, dan dengan cara apa saja,” akuinya.
Sebagai guru di kelas 1, Pak Joko sangat menyadari bahwa ia akan mendapatkan murid yang baru pertama kali mempunyai pengalaman bersekolah. Untuk itu, ia berupaya seoptimal mungkin untuk memahami muridnya agar dapat menemukan pokok pembelajaran yang paling tepat untuk mereka.
Selain itu, yang tak kalah penting, Pak Joko melibatkan orang tua murid. Hal pertama yang dilakukannya adalah memperdalam pengenalannya pada setiap murid yang akan diajarnya. Ia melakukan wawancara sendiri dengan orang tua murid untuk mengetahui lebih banyak tentang muridnya. Lebih dari itu, ia pun jadi tahu apa saja harapan orang tua terhadap anak mereka.
“Saya tanyakan kepada orang tua tentang kondisi murid, kapan mereka diidentifikasi sebagai Anak Berkebutuhan Khusus, apa saja upaya keluarga, dan sebagainya,” ujar Pak Joko.
“Bagaimanapun juga murid-murid itu lebih banyak menghabiskan waktu dengan orang tua mereka dibandingkan dengan guru di sekolah”, lanjutnya.
Selanjutnya, Pak Joko juga senang mendiskusikan silabus pelajaran dengan orang tua murid. Pada pelajaran tertentu, ia memberikan kesempatan kepada orang tua murid untuk masuk ke kelas dan ikut mengajar sebagai guru tamu. Dalam kesempatan seperti itu, para orang tua juga melihat bagaimana anak-anak tunarungu lain yang ada di kelas. Pada gilirannya, kata Pak Joko, orang tua saling berbagi dan saling mendapatkan pemahaman baru dari setiap anak-anak dan orang tua lainnya.
“Saya terus melakukan evaluasi dengan para orang tua, apa yang saya punya dan apa yang orang tua punya, kami berbagi satu sama lain. Guru dan orang tua saling melengkapi,” tutur Pak Joko.
Praktik Langsung di Luar Kelas
Meskipun Pak Joko diberi tanggung jawab di kelas 1, namun ia juga diminta untuk memberi satu mata pelajaran di kelas 7, yakni pelajaran Pengembangan Komunikasi Persepsi, Bunyi, dan Irama (PKPBI). Di kurikulum sebelumnya mata pelajaran ini tidak wajib diberikan.
Pak Joko mengaku senang sekali ketika mengetahui pelajaran PKPBI ternyata wajib diajarkan di Kurikulum Merdeka. Tak hanya itu, di Kurikulum Merdeka, pelajaran ini dapat diajarkan dengan cara yang kreatif dan sesuai kebutuhan murid.
“Sebelumnya, pelajaran ini hanya diajarkan secara konvensional. Hal yang sama diulang terus-menerus. Guru bisa bosan, apalagi murid,” ujar Pak Joko sambil menceritakan kembali bagaimana suatu hari murid-muridnya menyampaikan sendiri perihal kebosanan yang mereka alami.
Kini pelajaran PKBI diajarkan 3 jam pelajaran setiap hari dengan model pembelajaran yang aplikatif. Biasanya, murid melakukan latihan komunikasi dengan cara oral-verbal, pelajaran vokal A I U E O, dan bermain kartu kata. Namun kali ini Pak Joko bisa melakukan model pembelajaran yang membuat anak-anak lebih riang-gembira, yaitu belajar di luar kelas.
SLB Negeri 1 Tabanan berada di dekat terminal bus. Pak Joko memanfaatkan lingkungan yang ada di sekitar sekolah sebagai ruang belajar yang menyenangkan, khususnya untuk memberikan pelajaran PKPBI. Murid-murid secara pelan-pelan diajak belajar komunikasi secara langsung dengan orang-orang di sekitar mereka.
Pak Joko mengajak murid-muridnya naik bus dan meminta mereka mendiskusikan sendiri lokasi tujuan dan kegiatan apa yang akan dilakukan di sana. Ada membeli es krim. Ada yang di pertemuan selanjutnya meminta ke tempat makan mie dan ke bioskop.
“Saya benar-benar terharu melihat murid sudah berani berinteraksi, melakukan transaksi, dan mulai percaya diri,” ungkap Pak Joko mengungkapkan perkembangan muridnya ketika diajak belajar berkomunikasi langsung di luar kelas.
Persiapan Kurikulum Merdeka di Kelas Lain
Bila pengalaman Pak Joko berkaitan dengan kelas yang sudah menerapkan Kurikulum Merdeka, bagaimana dengan kelas lainnya? Ibu Netty, guru lain dari SLB 1 Tabanan, menyampaikan pengalamannya menjadi wali kelas untuk tunagrahita sejak 2019.
Ia tidak punya latar pendidikan untuk Sekolah Luar Biasa. Alih-alih, ia merupakan lulusan pendidikan tata busana. Setelah empat tahun bekerja di perusahaan distributor, Bu Netty kemudian mendaftar di Sekolah Luar Biasa. Di awal-awal, ia banyak belajar dari guru-guru SLB yang lebih berpengalaman dalam mengajar murid khusus. “Sampai sekarang pun saya tetap berusaha belajar,” ujarnya.
Sejak 2022, Ibu Netty diminta mengajar kelas 9 untuk tunarungu. Ia dapat menggunakan latar belakangnya di bidang tata busana untuk memberikan model pembelajaran yang berbeda untuk muridnya, sekalipun dalam praktik sederhana mengganti pakaian. Yang penting, pelajaran untuk siswa tunarungu bisa dibuat jadi kreatif.
“Ini merupakan upaya untuk mempersiapkan bila nanti kelas saya sudah menerapkan Kurikulum Merdeka,” katanya. “Setidaknya sampai sekarang, melalui Platform Merdeka Mengajar, saya mempelajari banyak cara dan media dalam mengajar. Saya terus mengikuti latihan untuk pengembangan diri,” tuturnya sambil berharap segera bisa ikut menerapkan Kurikulum Merdeka.
“Kami benar-benar berharap Kurikulum Merdeka menuntun anak-anak kami ke depannya sehingga mereka bisa mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Minimal bagi diri mereka sendiri,” lanjut Bu Netty penuh harap.
Sumber : Kemendikbud.go.id