Pakar Ekonomi Airlangga Tekankan Pentingnya Strategi Jangka Panjang Hadapi Krisis Pangan

EduJurnal EduNews Edutainment

educare.co.id, Surabaya, 27 Agustus 2025 Lonjakan harga beras yang menembus Rp14.500 per kilogram dalam sebulan terakhir menjadi perhatian serius berbagai pihak. Kenaikan sekitar 15 persen ini tidak hanya menekan daya beli masyarakat, tetapi juga berpotensi memicu inflasi pangan yang berdampak pada sektor lain.

Pakar ekonomi Universitas Airlangga (UNAIR), Prof. Dr. Rossanto Dwi Handoyo, SE., M.Si., Ph.D., menilai persoalan mendasar terletak pada produktivitas pertanian yang terus menurun. “Dulu satu hektar lahan padi bisa menghasilkan 4–6 ton gabah. Kini hasilnya jauh lebih rendah,” jelasnya.

Tantangan Perubahan Iklim dan Produksi

Menurut Prof. Rossanto, perubahan iklim telah menggeser musim tanam dan panen, membuat petani kesulitan menentukan pola tanam yang tepat. Beberapa daerah yang sebelumnya bisa menanam padi dua kali setahun kini hanya sekali. Kondisi ini semakin diperparah dengan alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan non-pertanian.

Meski pemerintah telah meluncurkan program food estate, efektivitasnya dinilai belum teruji dalam jangka panjang. “Deklarasi swasembada karena tidak ada impor beberapa bulan bukan solusi. Swasembada sejati harus berkelanjutan minimal 3–5 tahun,” tegasnya.

Dampak ke Kemiskinan dan UMKM

Kenaikan harga beras diprediksi akan meningkatkan angka kemiskinan. “Setiap kenaikan 10 persen harga beras dapat menaikkan angka kemiskinan hingga 1 persen. Rumah tangga miskin menjadi pihak paling terdampak,” jelas Prof. Rossanto.

Selain itu, pelaku UMKM, terutama sektor kuliner, juga menghadapi tekanan besar akibat biaya produksi meningkat. Mereka harus memilih antara menaikkan harga jual atau menurunkan margin keuntungan.

Pemerintah memang menyalurkan bantuan beras bagi masyarakat miskin, namun jangkauannya terbatas. Untuk UMKM, kontrak jangka panjang dengan harga tetap bersama Bulog dinilai bisa menjadi solusi agar biaya bahan baku lebih stabil.

Perlunya Lumbung Padi Baru

Prof. Rossanto memperkirakan dalam 10–20 tahun mendatang, Pulau Jawa tidak lagi bisa menjadi penyangga utama beras nasional. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengembangkan sumber produksi baru di luar Jawa dengan strategi komprehensif, mulai dari pembangunan irigasi, infrastruktur transportasi, pelatihan tenaga kerja, hingga pemberian insentif bagi petani.

“Upaya ini harus disiapkan dari hulu ke hilir agar benar-benar efektif. Infrastruktur pertanian harus direncanakan matang supaya wilayah baru bisa menjadi lumbung pangan berkelanjutan,” pungkasnya.

(SCP)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *